Print this page
Senin, 11 September 2017 13:34

Potensi Agroforestri Jati dan Kedelai Dalam Menunjang Hutan Berkontribusi Pada Ketahanan Pangan

Nilai artikel ini
(0 votes)

Oleh:

Dody Kastono

Laboratorium Manajemen Produksi Tanaman

Departemen Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian UGM

 

Agroforestri berhubungan dengan sistem penggunaan lahan di mana pohon ditumbuhkan berasosiasi dengan tanaman pertanian, pakan ternak, atau padang penggembalaan. Asosiasi ini dapat dalam waktu, seperti rotasi antara pohon dan komponen lainnya, atau dalam dimensi ruang, di mana komponen tersebut ditumbuhkan bersama-sama pada lahan yang sama. Dalam sistem tersebut tetap mempertimbangkan nilai ekologi dan ekonomi dalam interaksi antar-pohon dan komponen lainnya.

Masyarakat sudah terbiasa melakukan penanaman secara tumpangsari di kawasan hutan atau lahan kering (tadah hujan). Kedelai sebagai tanaman pangan yang penting dan strategis (menduduki rangking ketiga setelah padi dan jagung), sekarang ini porsi terbesarnya dipenuhi dari kedelai impor. Permasalahan yang dihadapi antara lain rendahnya luas areal tanam dan rendahnya produktivitas kedelai dari waktu ke waktu.

 

Gambar 1. Kedelai hitam Mallika umur 21 hari setelah tanam, penanaman di Sidolaju Widodaren (kiri) dan Pelanglor Kedunggalar (kanan) kabupaten Ngawi.

 

Program peningkatan produksi dan kualitas kedelai, selain melalui program intensifikasi juga masih harus ditunjang dengan program ekstensifikasi. Pengembangan kedelai dihadapkan pada terbatasnya lahan subur. Lahan yang masih tersedia umumnya tergolong marjinal sehingga memerlukan investasi yang lebih besar untuk dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kedelai. Salah satu lahan yang berpotensi digunakan untuk penanaman kedelai adalah di kawasan hutan. Oleh karena itu, agroforestri jati dan kedelai dapat menjadi salah satu alternatif terbaik untuk dikembangkan.

Kedelai dapat ditanam di kawasan hutan yang umur jatinya sampai dengan 3 tahun, di mana tingkat naungannya masih relatif belum tinggi (< 30 %). Beberapa permasalahan yang dapat ditemukan di lahan kawasan hutan  dan solusi yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Kurangnya intensitas penyinaran akibat naungan jati dapat diantisipasi dengan penggunaan varietas kedelai toleran naungan. Badan Litbang Pertanian telah melepas varietas kedelai toleran naungan. Varietas Wilis dan Argopuro mampu berproduksi cukup tinggi dalam kondisi ternaungi hingga intensitas 50 %. Kedua varietas berpeluang dikembangkan di lahan kawasan hutan jati muda.
  2. Masalah kemasaman dan ketidaksuburan tanah dapat diatasi dengan teknologi ameliorasi melalui pemberian kapur atau pupuk kandang. Varietas Tanggamus adaptif dan mampu berproduksi hingga 2,88 ton/ha di lahan kering masam. Pengembangan teknologi produksi kedelai melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) pada lahan kering masam mampu memberikan hasil 2,0 ton/ha. Bahan organik diperlukan untuk pertumbuhan tanaman, di mana kadar bahan organik optimal adalah sebesar 5 %, sementara lahan di pulau Jawa kadar bahan organiknya di bawah 2 %. Bahan organik juga diperlukan oleh Rhizobium untuk menunjang proses pembentukan bintil akar.
  3. Keterbatasan ketersediaan air dapat diantisipasi dengan pengaturan pola tanam yang tepat, terutama perencanaan waktu tanam dan panen yang tepat serta penggunaan varietas kedelai tahan kekeringan. Salah satu varietas lokal yang sudah teruji dan terbukti mampu beradaptasi dan berproduksi baik di lahan kawasan hutan adalah Kedelai Mallika dengan rerata produksi di atas 2,0 ton/ha.

 

Gambar 2. Kedelai hitam ditanam di kabupaten Bojonegoro: lebih dari 85 polong dengan 3 cabang produktif (kiri) dan di Pelanglor Kedunggalar kabupaten Ngawi: 348 polong dengan 12 cabang produktif (kanan).

 

Keuntungan pengembangan kedelai di lahan kawasan hutan adalah:

  1. mampu memasok nitrogen alami bagi tanaman kedelai dan jati muda, sehingga produktivitas lahannya meningkat,
  2. mencegah erosi tanah dan air limpasan (run off),
  3. memberikan tambahan pendapatan bagi petani sebelum jati ditebang, dan
  4. mampu menunjang program Jalur Benih Antar Lapangan dan Musim (Jabalsim) untuk kedelai, sehingga dalam penyediaan benih dapat dilakukan dengan baik untuk memenuhi kebutuhan benih antar wilayah penanaman secara berkelanjutan antara lahan sawah dan lahan baon atau lahan kering.

Pada lahan jati muda, kedelai dapat ditanam secara tumpangsari dengan tanaman pangan semusim lainnya. Selain meningkatkan produktivitas lahan, cara ini juga memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat maupun Perhutani. Sejalan dengan siklus produktifnya, jati memerlukan peremajaan dalam periode tertentu. Masa peremajaan ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan kedelai hingga jati berumur 3 tahun. Kalau 10 % saja dari total areal hutan jati di setiap Kuasa Pemangku Hutan (KPH) mengalami peremajaan tanaman per tahun, maka tersedia lahan yang tersedia cukup luas untuk pengembangan kedelai.

Swasembada kedelai akan semakin mudah untuk dicapai secara bertahap apabila ditunjang dengan penyediaan luas areal tanam mencapai sekitar 1,5 juta ha dengan asumsi rerata produksi 1,5 ton/ha atau lebih, maka akan dihasilkan minimal 2,25 juta ton kedelai yang diharapkan dapat mendekati pemenuhan kebutuhan kedelai nasional secara bertahap. Angka prediksi ini bukan suatu hal yang sangat sulit untuk dicapai, namun demikian perlu ada komitmen bersama antar berbagai pihak, khususnya didukung oleh 4 pilar A-B-C-G (academy, business, community, and government) yang difasilitasi dengan adanya regulasi yang jelas dan berpihak pada petani. Ke depan bila program intensifikasi dan ekstensifikasi dapat diselaraskan bersama secara simultan, maka hal ini tentu saja dapat untuk mengurangi impor kedelai yang hingga saat ini masih terus berlangsung, bahkan dapat menuju swasembada kedelai secara mandiri dan berkelanjutan.

 

 

 

Read 363 kali

Terbaru dari: Didi Widjanarko